PR Ditiadakan? Kebebasan Siswa atau Masalah?
Beberapa bulan terakhir, Indonesia kembali digemparkan
dengan pernyataan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) , Muhadjir
Effendy. Beliau menyatakan dukungannya atas kebijakan pemerintah Kabupaten Purwakarta
untuk menghapus atau mentiadakan Pekerjaan Rumah (PR) bagi siswa sekolah.
Mendikbud mendukung agar diberlakukannya hal tersebut di seluruh daerah, selama
kebijakan tersebut baik. Namun, Mendikbud mengembalikan lagi persoalan ini kepada
pemerintah daerah, karena pendidikan di masing-masing daerah berbeda dan
pendidikan daerah adalah ranah hak otonomi daerah.
Mendikbud menyarankan agar para guru di sekolah dapat
menyelesaikan atau menuntaskan pelajarannya di sekolah saja. Hal tersebut
dinilai agar siswa lebih banyak melakukan obervasi lingkungan dan masyarakat dan tidak terpaut ke PR ketika berada di sekolah.
Saya akan mencoba memberikan pandangan saya pada
permasalahan ini. Saya yang menginjak bangku kuliah saat ini tidak berfokus di
bidang pendidikan, juga pernah merasakan pendidikan dari mulai SD, SMP, dan
SMA. Dimana setiap beberapa kali pertemuan dengan guru, selalu diberikan oleh-oleh
berupa PR ataupun tugas kelompok dan sebagainya. Masih menginjak usia SD, PR
yang memang dikerjakan di rumah, memang dikerjakan di rumah ataupun di tempat
les. Menginjak SMP dan SMA, PR bukanlah pekerjaan di rumah, melainkan pekerjaan
yang dikerjakan di sekolah. Hal ini mungkin diakibatkan makin naiknya tingkat
kesulitan suatu pelajaran di setiap jenjang sekolah. Membuat anak-anak yang
menginjak SMP ataupun SMA merasa terkadang susah mengerjakannya ataupun mereka
yang malas dan terkesan cuek dengan PR, sehingga menunggu temannya saja untuk
mejawabnya dan kemudian menconteknya.
Zaman kemudian berkembang. Anak-anak sekarang mungkin
banyak menghabiskn waktunya di sekolah karena telah diterapkannya full day school . Hal ini berdampak
kepada mood anak dan kesegaran
fisiknya untuk mengerjakan soal PR yang telah diberikan. Ditambah, banyak anak
telah mempunyai gadget atau gawai pribadi.
Hal ini akan berdampak pada anak, ketika anak mungkin lebih asik bermain game di gawai mereka dan banyak menghabiskan waktunya di rumah hanya untuk bermain itu, sehingga bisa
melupakan kewajiban yang telah diberikan oleh gurunya.
Masalah ini sangat berdampak bagi siswa dan orang
tuanya. Masih banyak orang tua dan siswa yang mendukung adanya PR untuk anak.
Mungkin ada yang berpendapat bahwa kalau anak tidak diberikan PR, anak akan
lebih banyak menghabiskan waktunya bermain gawainya. Ada juga yang berpendapat
bahwa kalau tidak ada PR, anak tidak akan belajar di rumah.
Namun, ada juga yang berpendapat bahwa, tidak adanya
perubahan signifikan yang ditunjukkan oleh anak. Hal ini sama saja dengan
pernyataan saya yang sebelumnya, kalau PR saja bisa dikerjakan di sekolah,
mengapa harus dikerjakan di rumah.
Ada baiknya, PR diberikan dalam bentuk belajar mandiri
sebelum menghadapi materi selanjutnya di sekolah. Dengan ini, akan membiasakan
anak untuk belajar materi selanjutnya, sehingga mereka akan sedikit lebih paham
dan mudah menyerap pelajaran nantinya. Pembelajaran mandiri seperti ini harus
didampingi oleh orang tua ataupun tentor les. Ahnya saja setiap kondisi
orangtua siswa berbeda-beda membuat mereka berbeda pandangan mengenai hal tersebut.
Sebuah riset tentang PR pernah dilakukan oleh Harris
Cooper, Profesor Psikologi dari Duke University pada tahun 2006. Beliau telah
menemukan bukti bahwa ada hubungan positif antara PR dan prestasi anak.
Hasilnya adalah, anak yang mengerjakan PRnya akan memiliki prestasi yang baik
di sekolah. Namun, riset tersebut hanya berfokus pada prestasi akademik,
misalnya nilai ujian atau nilai tes. Dalam risetnya juga, ditunjukkan kalau
anak yang mengerjakan PR dengan baik, bisa meningkatkan karakter dan sikap
belajar yang baik, disiplin, dan kemandirian belajar. Namun, Cooper juga
menemukan bahwa PR bisa melelahkan anak.
Penelitian selanjutnya yang digagas oleh Cathy
Vatterott, Profesor Pendidikan di Unversity of Missouri-St.Louis, menyatakan
bahwa adanya hubungan tidak berarti adanya sebab akibat. Vetterott menulis pada
sebuah bukunya yang berjudul Rethingking
Homework: Best Practice That Support Diverse Needs, lebih menekankan
kualitas suatu PR dibandingkan kuantitasnya. Beliau juga mendorong
menghilangkan PR di sekolah dasar.
Kebebasan anak dipertaruhkan, bila PR ditiadakan anak
akan lebih leluasa di rumah karena tidak ada tanggungan apapun yang dibawanya
dari sekolah. Sebalikya bila PR yang diberikan terlalu banyak, maka akan
memberatkan fisik dan mental anak. Apakah hal ini menjadi masalah serius atau
tidak berarti apa-apa bagi orang tua dan anak?
sumber :
Komentar