Indonesia Sedang Tidak Baik-Baik Saja
Judul
diatas adalah penggambaran yang sedang terjadi di negeri kita tercinta,
Indonesia. September menjadi bulan yang kelabu, terutama di penghujung akhir
September. Dewan Perwakilan yang katanya “Merakyat” bagai dikejar penagih
hutang. Kerja para anggota dewan pada bulan ini sangat cepat. Itu terbukti
dengan banyaknya Rancangan Revisi Undang-Undang. Mulai dari Revisi RUU Komisi
Pemberantasan Korupsi, RUU KUHP, RUU Ketenagakerjaan, Agraria, dan masih banyak
RUU yang sepertinya dikebut pengerjaannya di akhir periode para dewan.
Dimulai
dengan revisi RUU KPK yang dinilai hanya untuk melemahkan saja, sekitar tanggal
5 September 2019, saat rapat paripurna DPR yang menyetujui usulan Revisi UU
KPK. Hal tersebut menimbulkan banyak sekali protes yang dilayangkan masyarakat
terhadap DPR. Bahkan lima pemimpin KPK menolak dengan tegas Revisi UU KPK yang
sedang dikerjakan DPR. Mereka beranggapan bahwa DPR akan memenggal kewenangan
KPK sebagai lembaga independen anti rasuah. Melihat lebih dalam, RUU KPK
tersebut sebenarnya tidak masuk ke prioritas legislasi nasional dan DPR dinilai
melanggar hokum terkait hal tersebut. Setelah itu, berbagai langkah untuk
memprotes hal tersebut banyak dilakukan, mulai dari pakar hokum, Indonesia Coruption Watch (ICW) dan
akademisi yang ramai-rama membuat pernyataan “Menolak Revisi RUU KPK” yang
salah satunya dilakukan oleh Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta. Rektorat
UII sendiri menolak dengantegas Revisi RUU KPK yang dinilai sangat melemahkan,
bukan menguatkan lembaga tersebut. Rektor UII, Fathul Wahid, mengatakan dengan
penandatanganan pada kain sepanjangn 60 meter persegi yang dilakukan di
Fakultas Hukum UII menunjukkan gerakan moral yang dipicu oleh rencana DPR yang
akan merevisi UU KPK yang dilakukan pada tanggal 9 September 2019.
Gelombang Demonstrasi Mahasiswa (sumber : https://kabar24.bisnis.com) |
Selepas
gelombang penolakkan yang terjadi sebelum pengesahannya, tepat pada tanggal 17
September 2019, ketok palu pengesahan Revisi UU KPK disahkan oleh DPR. Ketok
palu tersebut menjadi awal lemahnya KPK dan awal kemunduran lembaga independen
tersebut. Tak elak, gelombang demonstrasi pun banyak bermunculan. Kota-kota
besar di pulau Jawa terutama banyak yang melakukan aksi. Sempat tranding tagar
Gejayan Memanggil yang bertepat di Yogyakarta. #GejayanMemanggil dengan cepat
menjadi tranding nomer satu di Twitter, sekitar 2 hari sejak digaungkan di
media sosial. Sebelum melakukan aksi, mahasiswa yang menamai dirinya sebagai Aliansi Rakyat Bergerak, telah melaksanakan konsolidasi beberapa hari sebelum
dimulainya aksi. Tepat pada tanggal 23 September 2019 aksi tersebut dimulai.
Banyak mahasiswa yang telah memadati titik-titik kumpul yang telah dijanjikan
sebelumnya. Aksi berjalan damai, banyak tuntutan yang dilayangkan mahasiswa
Yogyakarta terhadap permasalahan negeri ini, walau sebelumnya banyak kampus
yang berlepas tangan dengan aksi ini, baik dari kampus negeri ataupun swasta di
Yogyakrta.
Water Cannon Mencoba Menetralizir Massa Aksi (Sumber : https://jatim.suara.com) |
Aksi
tak hanya di Yogyakarta, berbagai daerah melakukan aksinya walaupun tidak
serntak di tanggal yang sama. Surabaya menggelar aksi pada tanggal 26 September
2019, lalu ada aksi mahasiswa di Malang yang berujung bentrok antara mahasiswa
dan aparat yang terjadi 24 September 2019. Serta aksi di Bandung yang cukup
keras dan mencekam yang terjadi bersamaan dengan aksi di Yogyakarta. Sasaran
aksi mahasiswa di berbagai daerah hanya satu, yaitu kantor DPRD masing-masing
daerah, pengecualian untuk Yogyakarta yang bertepat di pertigaan Colombo
didekat Universitas Negeri Yogyakarta. Aksi pamungkas terjadi di Jakarta,
dimana aksi mahasiswa dari seluruh penjuru Jabodetabek berkumpul di satu titik,
Gedung DPR RI. Tepat tanggal 24 September, aksi yang dilakukan sejak pagi
hingga siang berjalan dengan damai, hingga menjelang sore aksi mulai ricuh.
Aksi represif aparat terhadap mahasiswa dilakukan karena aksi massa sudah mulai
anarkis, dengan membakar ban, pelemparan batu dan blokade jalan. Hingga aparat
menggunakan Water Cannon untuk
menghalau aksi mahasiswa tersebut. Namun, aparat sepertinya sedang berhadapan
dengan baja. Mahasiswa tetap bertahan di posisinya dan pada malam harinya,
barulah pagar gedung DPR bisa dijebol. Aparat makin progresif ketika gas air
mata dilemparkan ke massa aksi, membuat massa aksi kocar kacir. Tak hanya di
Pulau Jawa, aksi menolak RUU KUHP dan KPK ini banyak terjadi di luar jawa,
Sumatra, Kalimantan, Sulawesi juga terjadi aksi serupa. Seperti yang terjadi di
Makassar yang mana tuntutan yang dilayangkan sama dengan yang terjadi di Jawa. Tanggal
25 September 2019, Pontianak juga di demonstrasi oleh mahasiswa dengan target
kantor DPRD Kalimantan Barat.
Gelombang
demonstrasi terjadi dimana-mana, tak elak adanya korban akibat demonstrasi juga
pasti banyak terjadi. Ada beberapa mahasiswa yang gugur dalam aksi menuntut
penolakan terhadap RUU yang dibuat oleh DPR. Ada mahasiswa di Kendari, Sulawesi
Tenggara yang meregang nyawa akibat tertembak peluru polisi, ada juga korban
luka yang dirawat di Rumah Sakit di Jakarta. Ada sekitar puluhan mahasiswa yang
dirawat akibat terinjak, terdorong, terkena gas air mata, dan ada juga aksi
massa yang dipukul oleh aparat sehingga terluka di beberapa bagian tubuhnya.
Banyak terjadi pelanggaran HAM pada saat demonstrasi berlangsung. Menariknya,
ada salah satu akun sosial media yang menyebarkan video sweeping aparat terhadap ambulan yang katanya membawa batu dan bom
Molotov untuk para pendemo. Yang lebih herannya lagi, yang menyebarkan adalah
aparat sendiri, dan berita tersebut ternyata hoax. Ambulan tersebut tidak membawa apapun, baik batu maupun bom
Molotov. Mereka hanya permintaan dari Pemprov DKI Jakarta dan PMI Jakarta guna
membantu demonstran yang luka-luka. Aparat terkesan tidak peduli dengan keadaan
sekitar, semua pendemo yang berada di hadapannya dibabat habis. Hal tersebut
sebenarnya juga beralasan, mungkin saja memang aparat hanya menetralisir para
pendemo yang membawa senjata, namun alangkah lebih baiknya tidak pada
tempat-tempat yang kritis seperti ambulan yang jelas-jelas datang untuk
membantu dalam penangan medis, bukan untuk membawa senjata. Selain itu juga,
hal yang disorot adalah pemukulan jurnalis yang sedang bertugas meliput aksi
massa. Seperti yang terjadi di Makassar, wartawan berita Antara dipukuli oleh
aparat bahkan diseret oleh aparat ketika memukul mundur para demonstran. 4
Jurnalis di Jakarta juga mendapat intimidasi dari aparat saat bertugas meliput
aksi di gedung DPR, Senanyan. Selain dipukuli, aparat meminta secara paksa
untuk menghapus foto dan video terkait kekerasan yang dilakukan aparat terhadap
para demonstran. Padahal wartawan dan jurnalis yang meliput dilindungi oleh UU
no 40 tahun 1999 tentang Pers. Banyaknya pelanggaran HAM yang terjadi harusnya
menjadi tamparan keras bagi pemerintah yang tidak bisa melindungi rakyatnya
dari gempuran aparat yang terkadang “main hakim sendiri” dengan dalih untuk
mengamankan situasi. Memang, mungkin banyak aksi kemarin yang disusupi oleh
kaum-kaum anarko yang mencoba untuk
mengacaukan suasana aksi damai menjadi ricuh dan berantakan, tapi tak semua
yang mengikuti aksi dapat dibabat habis, contohnya saja jurnalis tadi.
Setelah
beberapa hari, pemerintah melalui instruksi Presiden Jokowi terhadap
Menristekdikti, Mohamad Nasir, meminta untuk para rektor universitas mencegah
mahasiswanya untuk turun ke jalan. Bahkan, Nasir juga mengungkapkan akan
memberi sanksi terhdap rector yang kedapatan ikut menggerakkan aksi mahasiswa
yang turun ke jalan. Pelarangan tersebut dinilai sebagai tindakan yang tidak
mengindahkan Undang-undang, terutama pasal 28E ayat 3 UUD 1945 yang menyatakan
setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan menyeruakan
pendapat. Secara tak langsung, hal tersebut menciderai demokrasi dan UUD 1945.
Pemerintah melalui Menristekdikti berusaha untuk menekan dan membendung gerakan
kritis yang digalang oleh mahasiswa. Bahkan beberpa pejabat public seperti
Wiranto dan Yasonna Laoly menuduh gerakan mahasiswa tersebut telah ditunggangi
oleh kepentingan politik tertentu. Sekali lagi, pemerintah berusaha
mendiskreditkan agenda mahasiswa yang baru-baru ini terjadi.
Dhandy Laksono Ditangkap Polisi (Sumber : https://megapolitan.kompas.com) |
Penangkapan
aktivis HAM dan jurnalis Dhandy Laksono juga tak luput dari sangkut pautnya dengan
aksi mahasiswa. Sutradara film dokumenter Sexy Killers ini ditangkap polisi
dengan dalih karena menebar kebencian SARA melalui akun Twitternya terkait
kasus Papua. Dhandy dituding melanggar pasal 28 Ayat 2 jo Pasal 45A ayat 2
tentang UU ITE. Dhandy sendiri statusnya masih tersangka, walau dirinya sudah
boleh bebas. Dhandy terkena pasal karet, dan menariknya yang melaporkannya
adalah pihak kepolisian itu sendiri. Pelaporan tersebut didasarkan karena
dinilai membahayakan, jelas Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Argo Yuwono.
Namun, menurut kuasa hukum Dhandy, pelapor tidak menyertakan saksi pada
pelaporannya tersebut. Selain Dhandy, Ananda Badudu juga ditangkap oleh polisi, namun langsung dibebaskan. Ananda yang seorang mantan jurnalis, ditangkap dan
diperiksa polisi diakibatkan karena dia menggalang dana untuk aksi demonstran
di Jakarta melalui kitabisa.com. Namun,
setelah diperiksa, Ananda dipulangkan dan dibebaskan. Ananda hanya diperiksa
sebagai saksi tentang aliran dana kepada mahasiswa saat demonstrasi di depan
Gedung DPR RI pada Selasa, 24 September dan Rabu, 25 September 2019. Ananda
mengatakan bahwa di dalam kantor polisi banyak mahasiswa yang diperiksa tanpa
dilakukan pendamping hukum. Melihat 2 kejadian tersebut, apakah Negara ini
sudah melindungi aktivis HAM dan Jurnalis? Bagaimanakah nasib mahasiswa yang
dilakukan pemeriksaan polisi tanpa “Pendampingan Hukum” ? Kondisi Indonesia
akhir-akhir ini memang memperihatinkan. Belum dapat dipastikan situasi ini
mereda. Kalaupun mereda, masalah Indonesia belum selesai sampai di revisi UU,
masih banyak permasalahan yang dihadapi Indonesia. Kebakaran hutan, kerusuhan
di Papua, aktivis HAM yang dilanngar dan ditangkap, dan masih banyak
permasalahan di Negeri ini.
Ananda Badudu Diperiksa Sebagai Saksi (Sumber : https://www.liputan6.com) |
Benar, Indonesia Sedang
Tidak Baik-Baik Saja. Indonesia Sedang Sakit. Demokrasi Ternodai. Sampai kapankah Indonesia akan begini? Akan banyak imbas yang terjadi bila Indonesia, khususnya "Wakil Rakyat" kita tidak berbenah diri, dan cenderung menolak aspirasi rakyatnya.
Komentar