Realitas Apoteker Komunitas

Sumber : https://pixabay.com/id/photos/dokter-farmasi-obat-obatan-toko-8264057/

Halo pembaca, sudah lama saya tidak menyapa kalian melalui tulisan dan beberapa waktu terakhir hanya menyapa kalian melalui media Podcast saja. Kalau di tulisan, pasti saya akan membawakan tema yang agak berat atau hanya sekedar bercerita yang tidak saya sampaikan di Podcast, terutama di Iseng Podcast. Pada tulisan kali ini saya ingin membagikan cerita saya selama menjalani karir saya sebagai Apoteker yang sudah 2 tahun mengabdi. Tulisan kali ini juga akan membahas mengenai dilema yang saya alami selama mengabdi sebagai Apoteker Komunitas yang bergerak di bidang pelayanan kefarmasian di Apotek. 

Apoteker Komunitas
Sumber : https://pixabay.com/id/illustrations/apoteker-asia-apoteker-farmasi-8798554/

Karir saya dimulai dari saya lulus sebagai apoteker, dimana setelah sumpah saya langsung pulang ke Sintang. Saya sudah berencana untuk memulai pekerjaan pertama saya di Sintang, karena memang dari awal kuliah di Jogja niatan saya ingin membangun Sintang menjadi lebih baik (tinggi bener yaa mimpinya, pengennya sih gitu). Saya menganggur selama 3 bulanan kira-kira. Waktu itu lowongan kerja Apoteker baik di Sintang maupun di Pontianak memang tidak begitu banyak.

Saya sempat mendaftar di salah satu rumah sakit swasta terbesar di Kota Pontianak, namun dikarenakan proses recruitment yang cukup lama maka saya mengalihkan fokus pilihan karir saya di kota Sintang saja, mau itu di apotek maupun rumah sakit. Setelah saya melamar di rumah sakit swasta tersebut, saya mencoba peruntungan saya kembali di salah satu apotek cabang dari kota Pontianak yang membuka cabangnya di kota Sintang. Saya mendapatkan informasi recruitment tersebut dari media sosial yang memposting lowongan pekerjaan Apoteker. Sontak saya langsung menghubungi kontaknya dan melampirkan berbagai macam pesyaratan. Singkat cerita akhirnya saya interview dan tinggal menunggu hasilnya, walau hasilnya tidak pernah saya terima sampai sekarang. Saya agak curiga kalau yang mereka cari mungkin apoteker kenalan pegawai apotek tersebut, bisa jadi temannya pegawai tersebut, keluarga dan sanak family pegawai tersebut, dll yang berkaitan dengan sistem “Orang Dalam” atau bahasa Halusnya adalah “Jejaring”. Beberapa hari kemudian, teman kuliah saya mengajak saya ikut wawancara di salah satu Distributor Farmasi terbesar di Indonesia, dimana waktu itu Cabang Pontianak sedang mencari Apoteker untuk mengisi posisi Apoteker Penanggung Jawab (APJ) distributor mereka. Saya mencoba mengikuti, walau memang saya tidak begitu yakin bisa lolos, karena yang diterima mungkin hanya satu orang. Pada saat interview aja, saya menyarankan kepada pewakilan Human Resource atau HR mereka untuk menerima teman saya, dengan berdasarkan bukti yang saya sampaikan kepada perwakilan HR tersebut bahwa teman saya sangat mempuni untuk mengisi jabatan tersebut. Tak berselang lama, ternyata memang benar teman saya yang diterima menjadi APJ di Distributor tersebut. Baik, saya sudah mencoba mendaftar, dan menemani teman saya tersebut, kemudian saya kembali menyiapkan strategi selanjutnya. Beberapa hari kemudian, teman SD saya memberikan selebaran info open recruitment salah satu Apotek di Sintang, namun di brosur tersebut tidak dicari APJ. Saya kemudian bertanya, apakah mereka mencari APJ, lalu dia hanya mengatakan “coba Tanya dulu, siapa tahu lagi cari..” jawabnya. Baiklah saya akan menayakan ke narahubung dari brosur tersebut. Pihak narahubungnya mengatakan bahwa saya diminta untuk dating terlebih dahulu ke Apoteknya untuk ngobrol-ngobrol biasa.

Saya mendatangi apotek terebut, lalu saya masuk ke ruangan pemilik apotek dan ditanya-tanya mengenai asal sekolah, tempat tinggal, dan lain sebagainya. Saya berpikir waktu itu, apakah mungkin saya akan diterima dengan mudah, walaupun mereka sedang tidak mencari APJ. Beberapa jam kemudian barulah saya ditawari posisi APJ di salah satu cabang apoteknya. Sekedar informasi, Apotek yang saya bicarakan disini sudah memiliki cabang sebanyak 4 Apotek waktu itu, sehingga Apotek ini cukup besar di Kabupaten Sintang dibandingkan para pesaingnya. Saya juga agak terkejut, langsung ditawari menjadi APJ dengan hanya modal ngobrol-ngobrol doang, agak anehh sih tapi yaa sudahlah saya sudah mencoba dan diterima dengan cukup mudah. Pengurusan izin praktek dilalui walau ada drama sedikit dengan pengurus organisasi profesi cabang.

Singkat cerita, saya sudah mulai bekerja. Mengenal teman-teman baru, dan saya cukup terkejut bahwa tidak ada laki-laki di Apotek ini.. apakah tidak ada yang mau bekerja disini atau bagaimana, saya juga bingung. Tapi inilah realita yang terjadi, mungkin hampir di seluruh Apotek di Indonesia, yaitu perempuan lebih dominan bekerja di sektor kesehatan terutama sub-bidang kefarmasian. Fakta yang tak kalah mencenangkan adalah terkait tenaga kerja apotek. Tenaga kerja yang direkrut merupakan tenaga kerja yang tidak profesional di bidang kefarmasian. Teman-teman saya kebanyakan dari Bidan dan Perawat sehingga mereka pada saat masuk ke apotek sebagai pegawai baru, mereka harus melewati Trainning singkat tentang obat-obatan dasar. Bagaimana tidak, mereka mungkin hanya belajar sedikit tentang farmakologi di bangku kuliah, tidak sebanyak teman-teman apoteker maupun asisten apoteker. Saya sempat iseng bertanya kepada atasan saya waktu itu, apa yang menjadi dasar pencarian tenaga kerja yang professional di bidangnya, lalu dia menjawab karena di Sintang sendiri susah mencari professional. Kalaupun ada, dirinya harus merogoh kocek lebih dalam untuk meng-hire tenaga kerja tersebut, ditambah cabangnya ada 4 makin merana kantongnya nanti. Well berbicara tenaga kerja kefarmasian di Sintang memang terbilang cukup rendah dari segi sumber daya manusianya. Apotek di Sintang saja sudah menjamur, ditambah lulusan tenaga kesehatan bidang farmasi tidak banyak, mengharuskan pemilik apotek memutar otak mereka untuk mencari tenaga kerja selain bidang kefarmasian. Serta alasan lainnya yang saya rasa ini untuk tujuan “Bisnis Saja” adalah mereka para pemilik apotek tidak mau merogoh kocek lebih dalam untuk meng-hire tenaga kerja yang sudah bersertifikasi di bidang kefarmasian. Bayangkan saja, mereka sudah membayar APJ dengan dana yang cukup banyak, ditambah Apotek tersebut harus buka terus setiap hari untuk meraih omzet sebanyak-banyaknya, sehingga jomplang-lah kebutuhan tenaga kerja dengan lapangan pekerjaanya.

Baiklah, ini adalah realita pekerjaan kefaramasian di Sintang. Tak banyak asisten apoteker yang bekerja di sektor apotek, bahkan apoteker saja tidak banyak yang stanby di apoteknya, padahal ada nama mereka di Apotek tersebut dan disitulah tempat mereka berpraktek. Tak ada yang sesuai teori di dunia kampus, semuanya berubah ketika kalian menginjakkan kaki di dunia kerja yang kejam ini.

Sumber : https://pixabay.com/id/photos/euro-uang-membayar-tunai-427528/

Fakta lainnya adalah terkait dengan uang pesangon alias GAJI. Gaji apoteker di tempat saya berpraktek tidak terdapat standar baku yang “ketat”. Kalaupun ada standarnya, itu hanya sebatas perkiraan pemilik apotek yang meraba-raba gaji di berbagai apotek. Saya sendiri sudah berpindah dari tempat pertama ke tempat kedua, dan perbedaan gajinya sangat kentara. Kalau saya bisa rata-ratakan, gaji saya jatuh di angka Rp. 2.700.000 – Rp. 2.800.000 saja untuk gaji pokoknya, belum ditambah bonus atau tunjangan. Kalau sudah ditambah bonus/tunjangan bisa mentok diangka Rp. 3.000.000 – Rp. 3.100.000 atau bahkan hanya di kisaran Rp. 2.900.000, bahkan bisa kurang dari itu apabila omzet penjualan sedang lesu. Memang angka segitu sudah diatas Upah Minimum Rata-Rata (UMR) Kabupaten Sintang yaitu sebesar Rp. 2.854.277 pada tahun 2024, namun menurut saya upah segitu masih kurang (dibilang nggak bersyukur juga iya, dibilang bersyukur juga bisa). Menurut saya pribadi, biaya hidup di Sintang saja sudah cukup tinggi, mungkin sekitar di angka Rp. 3.500.000 dan angka ini sebenarnya relatif jadi setiap orang bisa berbeda. Bahkan teman saya di Jogja saja mentertawai saya, kok gaji saya hanya segitu. Dirinya mengabil contoh Apoteker Pendamping (Aping) di salah satu apotek yang cukup besar di Jogja, gaji bersihnya bisa mencapai Rp. 3.500.000 – Rp. 3.800.000, hampir Rp. 4.000.000 untuk seorang Aping. Saya beranggapan bahwa gaji APJ-nya mungkin bisa lebih dari Rp. 4.000.000, padahal UMR di sana juga paling tinggi di angka 2 jutaan saja. Sungguh sangat jomplang kan, tapi saya tidak menganggap nominal tersebut adalah suatu patokan semua apotek disana. Kenapa bisa berbeda? Mungkin karena kebijakan dari pemerintah setempat yang mensyaratkan pendirian apotek baru harus disertai slip gaji pegawai. Jadi menurut saya pribadi lebih ditekankan kepada pemerintah setempat, terutama Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Satu Pintu (DPMPTSP) untuk bisa lebih ketat dalam pendirian apotek terutama di bidang kesejahteraan pegawai.

Sumber : https://pixabay.com/id/photos/ahli-kimia-rak-produk-toko-obat-2415294/

Selanjutnya adalah, terkadang pemilik apotek yang perencanaan keuangannya buruk, akan lebih mudah kehilangan pelanggan. Penyebab utama kehilangan pelanggan tersebut karena banyaknya stok barang yang kosong akibat terlalu lama kosong. Tidak terdapat orderan dalam bulan tersebut dikarenakan uang penjualan sebelumnya digunakan untuk membayar hutang. Sangat memalukan, karena kami para pegawai di lapangan sudah sangat capek mengatakan “Stok Barang Sedang Kosong,” kepada setiap pelanggan yang datang. Oleh sebab itulah, dibutuhkan analisis keuangan terlebih dahulu, kalau diperlukan dapat memperkerjakan analisis keuangan dalam periode tertentu saja. Bahkan ditempat saya sekarang ini sudah hampir 2 bulan stok barang tidak dipesankan. Alasan yang paling masuk akal adalah uang penjualan digunakan untuk membayar hutang. Padahal uang hasil penjualan harian saja tidak cukup untuk membayar hutangnya tersebut, dan sementara kami berjabaku untuk menjaga agar omzet apotek cukup untuk satu hari.

Baik, begitulah beberapa pengalaman yang pernah dan sampai sekarang masih saya alami karena saya masih bekerja di sektor ini. Ada tawaran ke sektor lain, namun saya masih mempertimbangkan, terlebih saya ingin melanjutkan hidup ke tahapan selanjutnya, jadi memerlukan dana tambahan lagi. Terima kasih telah membaca tulisan ini, semoga bermanfaat dan menjadi bahan pertimbangan kalian untuk menjadi Apoteker Komunitas yang berpraktek di Apotek. Sampai jumpa di tulisan selanjutnya yang cukup menguras memori.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PDD; Pekerjaan Kompleks yang Tak Relevan Lagi

Apa Itu Open Recruitment?

Mengenal Hujan